Perlindungan
Hukum Bagi Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan
Oleh
:
Martha Noviaditya
Fakultas Hukum Sebelas Maret
Surakarta 2010
Kesimpulan Dan Saran
Ø Kesimpulan
1. Bentuk Perlindungan Hukum yang diberikan kepada
kreditur dalam
Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan ketika
debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, dijelaskan bahwa
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum
utang-piutang ini dapat dibuat secara tertulis baik dalam bentuk akta di bawah
tangan maupun akta autentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur
materi perjanjian itu. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur
menurut Undang-Undang ini terdapat pada bentuk perjanjian kredit itu sendiri berupa :
a. Akta atau Perjanjian
Kredit di bawah tangan
Perjanjian
kredit atau akta di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat hanya diantara para pihak tanpa di hadapan pejabat
yang berwenang dalam pembuatan akta yaitu notaris.
Dalam prakteknya, akta atau perjanjian
kredit di bawah tangan ini memiliki beberapa kelemahan, sehingga
menurut penulis akta di bawah tangan ini kurang memberikan jaminan pelunasan piutang kreditur dan
perlindungan hukum terhadap kreditur.
Beberapa kelemahan akta di bawah tangan ini adalah :
1) Kemungkinan debitur tidak mengakui
atau menyangkali tanda
tangannya sangat besar, sehingga apabila
diperkarakan di muka pengadilan akan menyulitkan
atau melemahkan posisi bank sebagai pihak
yang dirugikan.
2) Kekurangan data-data
yang disebabkan perjanjian ini tidak dibuat di
hadapan pejabat yang berwenang.
b. Akta atau Perjanjian
Kredit autentik
Akta
autentik adalah surat atau tulisan atau perjanjian pemberian
kredit
oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan
notaris. Kelebihan akta ini yaitu dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki kekuatan
eksekutorial sama seperti putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, yang dapat
dijadikan
sebagai
dasar pelaksanaan eksekusi apabila debitur cidera janji.
Ø Saran
1. Adanya pembaharuan terhadap
peraturan perundang-undangan, khususnya ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah,
yaitu :
a.
Syarat
yang tercantum dalam Pasal 6, yaitu bahwa apabila debitur cidera janji, maka yang berhak melakukan penjualan atas
objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya pemegang Hak
Tanggungan pertama saja, yang berarti
pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya tidak memiliki hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan tersebut melalui pelelangan
umum apabila piutang beralih kepada pemegang Hak Tanggungan kedua ataupun kreditur lain, sehingga perlu dilakukan pembenahan
dalam Pasal ini guna menjamin perlindungan hukum kepada kreditur yaitu apabila piutang beralih kepada pihak ketiga yaitu
pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya, maka pihak ketiga
inipun juga berhak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila
debitur cidera janji atau wanprestasi
b. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) tentang
janji-janji yang
harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT), dalam salah satu janjinya, yaitu adanya keharusan untuk memuat atau mencantumkan janji dengan kata-kata
"apabila debitur cidera janji", maka pemegang Hak Tanggungan pertama berhak menjual atas
kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji. Sehingga, seandainya dalam akta tersebut tidak dicantumkan adanya
janji dengan kata-kata tersebut, maka
apabila debitur wanprestasi atau cidera janji, kreditur sebagai pemegang
Hak Tanggungan tidak memiliki hak untuk menjual
objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri.
2. Bank Pemerintah sebagai kreditur pada umunmya belum
sepenuhnya
memanfaatkan ketentuan yang tercantum
dalam Pasal 6 dengan sebaik- baiknya,
karena apabila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur biasanya bank sebagai
kreditur mengajukan permohonan eksekusi dengan meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjual objek
Hak Tanggungan melalui pelelangan umum guna memperoleh pelunasan
piutangnya. Padahal, proses seperti ini akan memakan waktu yang cukup lama dan
berbelit-belit. Seharusnya bank dapat mengacu pada ketentuan Pasal 6 tersebut
karena akan lebih efisien, yaitu bank dapat
mengajukan permohonan lelang secara langsung kepada Kantor Penjualan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) agar objek Hak Tanggungan dapat langsung
dilelang, sehingga kreditur tidak menunggu
waktu yang lama untuk memperoleh pelunasan piutangnya.
Nama : Camela Azkia
NPM :
21211577
Tanggal : 5 Mei 2013