Perlindungan
Hukum Bagi Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan
Oleh
:
Martha Noviaditya
Fakultas Hukum Sebelas Maret
Surakarta 2010
Hasil
Penelitian Dan pembahasan
3. Penafsiran
Ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yangBerkaitan
dengan Tanah yang Memberikan Perlindungan Hukum
Kepada
Kreditur ketika Debitur wanprestasi
Dalam proses pemberian kredit yang
dilakukan oleh pihak bank selaku kreditur
kepada debitur, kemungkinan terjadi resiko seperti kegagalan atau kemacetan
dalam pelunasan hutang oleh debitur sangatlah besar. Sehingga diperlukan
jaminan kebendaan yang dipersyaratkan oleh bank kepada debitur gunan menjamin pelunasan kredit tersebut. Jaminan
yang paling banyak digunakan adalah hak atas tanah, karena nilai atau
harganya yang cenderung meningkat. Lembaga jaminan yang dianggap efektif dan
aman oleh lembaga perbankan adalah Hak Tanggungan, hal ini disebabkan karena
mudah dalam mengidentifikasi objek Hak
Tanggungan serta jelas dan mudah dalam pelaksanaan
eksekusinya, serta harus dibayar lebih dahulu dari tagihan lainnya
dengan uang hasil pelelangan objek Hak Tanggungan, dan
sertifikat Hak Tanggungan
mempunyai kekuatan eksekutorial.

Dalam
hal tersebut di atas, jelas bahwa perlindungan hukum diberikan
kepada kreditur melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang mulai berlaku tanggal 9 April 1996. Adapun ketentuan Pasal dalam Undang-Undang
Hak Tanggungan yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur adalah :
1. Pasal 1 angka 1 : Memberikan
kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada pemegang Hak Tanggungan (droit de preference).
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan menyebutkan bahwa pengertian Hak Tanggungan :
"Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah
hak atas tanah Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur lain".
2. Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3), serta Pasal 20
ayat (2) dan (3) : tentang Eksekusi Hak Tanggungan
Salah satu ciri-ciri Hak Tanggungan
yaitu sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang
kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Berdasarkan
Penjelasan Umum angka 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, bahwa walaupun secara
umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur
dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi
Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu mengatur tentang
lembaga parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 HIR dan Pasal 256 Rbg. Pelaksanaan eksekusi atas objek Hak
Tanggungan ini merupakan salah satu wujud
perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak kreditur apabila debitur wanprestasi. Eksekusi berdasarkan ketentuan
yang tercantum dalam Undang-Undang
Nomor4 Tahun 1996 dibedakan menjadi
3, yaitu :
a. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Parate
Executie
atau Lelang tanpa melalui Pengadilan.
Ketentuan
dalam Pasal 6 Undang-Undang ini berbunyi :
"Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual objek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut".
b.
Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 :
Eksekusi atau Lelang melalui Pengadilan atas Sertifikat Hak Tanggungan
Ketentuan
dalam Pasal 14 ini berbunyi :

"Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor
Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak
Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku".
Ayat
(2) :
"Sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat irah-irah
dengan kata-kata "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Ayat
(3) :
"Sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang
mengani hak atas tanah".
c. Pasal 20 ayat (2) dan
(3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Penjualan
di bawah tangan
Ketentuan
dalam Pasal 20 ini berbunyi :
Ayat
(2) :
"Atas kesepakatan pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek
Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan
dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”
Ayat (3) :
Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis
oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar
yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau
media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
3. Pasal 11 ayat (2) : tentang
Janji-Janji yang tercantum dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Semua janji yang tercantum dalam Pasal
ini tidak mutlak seluruhnya memberikan perlindungan hukum terhadap kreditur,
tetapi hanya sebagian janji
saja yang sungguh memberikan perlindungan bagi kreditur apabila debitur wanprestasi.
4. Pasal 7 : Asas Droit de Suite
(Hak Tanggungan selalu mengikuti
objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun
objek itu berada).
Ketentuan dalam Pasal ini berbunyi :
"Hak Tanggungan ttap mengikuti
objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada".
Nama :
Camela Azkia
NPM :
21211577
Tanggal :
5 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar