I made this widget at MyFlashFetish.com.

Minggu, 05 Mei 2013

Review Jurnal 2 (Postingan 7)



Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan

Oleh :

Martha Noviaditya
Fakultas Hukum Sebelas Maret
Surakarta 2010

Kesimpulan Dan Saran
Ø Kesimpulan
1. Bentuk Perlindungan Hukum yang diberikan kepada kreditur dalam
Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan ketika debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dijelaskan bahwa perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang ini dapat dibuat secara tertulis baik dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta autentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur menurut Undang-Undang ini terdapat pada bentuk perjanjian kredit itu sendiri berupa :

a. Akta atau Perjanjian Kredit di bawah tangan
Perjanjian kredit atau akta di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat hanya diantara para pihak tanpa di hadapan pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta yaitu notaris. Dalam prakteknya, akta atau perjanjian kredit di bawah tangan ini memiliki beberapa kelemahan, sehingga menurut penulis akta di bawah tangan ini kurang memberikan jaminan pelunasan piutang kreditur dan perlindungan hukum terhadap kreditur. Beberapa kelemahan akta di bawah tangan ini adalah :

1) Kemungkinan debitur tidak mengakui atau menyangkali tanda
tangannya sangat besar, sehingga apabila diperkarakan di muka pengadilan akan menyulitkan atau melemahkan posisi bank sebagai pihak yang dirugikan.
2) Kekurangan data-data yang disebabkan perjanjian ini tidak dibuat di
hadapan pejabat yang berwenang.

b. Akta atau Perjanjian Kredit autentik
Akta autentik adalah surat atau tulisan atau perjanjian pemberian
kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris. Kelebihan akta ini yaitu dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, yang dapat dijadikan
sebagai dasar pelaksanaan eksekusi apabila debitur cidera janji.

Ø Saran

1. Adanya pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya  ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
yaitu :

a.      Syarat yang tercantum dalam Pasal 6, yaitu bahwa apabila debitur cidera janji, maka yang berhak melakukan penjualan atas objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya pemegang Hak Tanggungan pertama saja, yang berarti pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya tidak memiliki hak untuk menjual objek Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum apabila piutang beralih kepada pemegang Hak Tanggungan kedua ataupun kreditur lain, sehingga perlu dilakukan pembenahan dalam Pasal ini guna menjamin perlindungan hukum kepada kreditur yaitu apabila piutang beralih kepada pihak ketiga yaitu pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya, maka pihak ketiga inipun juga berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila debitur cidera janji atau wanprestasi


b.      Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) tentang janji-janji yang
harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dalam salah satu janjinya, yaitu adanya keharusan untuk memuat atau mencantumkan janji dengan kata-kata "apabila debitur cidera janji", maka pemegang Hak Tanggungan pertama berhak menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji. Sehingga, seandainya dalam akta tersebut tidak dicantumkan adanya janji dengan kata-kata tersebut, maka apabila debitur wanprestasi atau cidera janji, kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak memiliki hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri.

2. Bank Pemerintah sebagai kreditur pada umunmya belum sepenuhnya
memanfaatkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 dengan sebaik- baiknya, karena apabila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur biasanya bank sebagai kreditur mengajukan permohonan eksekusi dengan meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum guna memperoleh pelunasan piutangnya. Padahal, proses seperti ini akan memakan waktu yang cukup lama dan berbelit-belit. Seharusnya bank dapat mengacu pada ketentuan Pasal 6 tersebut karena akan lebih efisien, yaitu bank dapat mengajukan permohonan lelang secara langsung kepada Kantor Penjualan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) agar objek Hak Tanggungan dapat langsung dilelang, sehingga kreditur tidak menunggu waktu yang lama untuk memperoleh pelunasan piutangnya.

Nama      :  Camela Azkia
NPM        : 21211577
Tanggal : 5 Mei 2013









Tidak ada komentar:

Posting Komentar