Perlindungan
Hukum Bagi Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan
Oleh
:
Martha Noviaditya
Fakultas Hukum Sebelas Maret
Surakarta 2010
Hasil Penelitian Dan
pembahasan
2. Bentuk Perlindungan
Hukam Yang Diperoleh Pihak Kreditur Ketika Debitur Wnprestasi dalam Perjanjian
Kredit Dengan Jminan Hak Tanggungan Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan dijelaskan pengertian Kredit : "Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga". Dalam
ketentuan pasal tersebut, yang dimaksud persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam adalah bentuk perjanjian
kredit dimana adanya kesepakatan harus dibuat dalam bentuk tertulis.
Kesepakatan dalam
Perjanjian Kredit Perbankan harus dibuat dalam bentuk tertulis. Ketentuan ini
terdapat dalam Penjelasan Pasal 8 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
mewajibkan kepada bank sebagai pemberi kredit untuk membuat perjajian secara
tertulis. Keharusan perjanjian perbankan harus berbentuk tertulis telah
ditetapkan dalam pokok- pokok ketentuan
perbankan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang Perbankan. Menurut Badriyah Harun, pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah
:
1. Pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dibuat
dalam
bentuk perjanjian tertulis
2. Bank harus memiliki keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan
nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian
yang seksama terhadap watak, kemampuan,
modal, agunan, dan prospek usaha dari
nasabah
debitur
3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur
pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah
4.
Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai
prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip
syariah
5. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan
prinsip syariah dengan persyaratan
yang berbeda kepada nasabah debitur
dan
atau pihak-pihak terafiliasi
6. Penyelesaian sengketa
Dalam praktik perbankan,
perjanjian kredit yang dibuat secara tertulis
dituangkan
dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
a. Perjanjian Kredit atau
Akta di bawah tangan
Perjanjian
kredit atau akta di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat hanya diantara para pihak tanpa di hadapan pejabat
yang berwenang dalam pembuatan akta yaitu notaris. Bahkan lazimnya,
dalam penandatanganan akta perjanjian tersebut tanpa dihadiri saksi yang membubuhkan
tanda tangannya. Akta di bawah tangan ini biasanya telah berbentuk draft yang
lebih dahulu disiapkan sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada calon nasabah debitur untuk disepakati. Perjanjian
yang telah dibakukan memuat segala macam persyaratan dan ketentuan, yang
berbentuk formulir dan isinya tidak pernah
dibicarakan atau dirundingkan dengan
nasabah calon debitur terlebih dahulu.
b. Perjanjian Kredit atau
Akta Autentik
Akta
autentik adalah surat atau tulisan atau perjanjian pemberian
kredit
oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan
notaris. Definisi akta autentik terdapat dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yaitu : " Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya" (Subekti dan Tjitrosudibio, 2006:475).
Bentuk
perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur ketika debitur wanprestasi menurut Penjelasan
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 terdapat dalam bentuk perjanjian kredit itu
sendiri yang tertuang dalam bentuk
tertulis, yaitu baik berupa akta di bawah tangan maupun akta autentik. Menurut
penulis, bahwa yang lebih menjamin hak kreditur
dalam memperoleh kembali piutangnya ketika debitur wanprestasi adalah pada perjanjian kredit dengan akta autentik
Akta autentik ini memiliki kelebihan
yaitu dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang
yang memiliki kekuatan eksekutorial dan menjadi dasar untuk pelaksanaan eksekusi apabila debitur cidera janji.
Akta autentik ini dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat
yang berwenang
yaitu notaris melalui proses pengikatan perjanjian kredit dengan jaminan
pemberian Hak Tanggungan terlebih dahulu, kemudian dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang memuat janji-janji
guna menjamin hak kreditur dalam
memperoleh pelunasan piutangnya dan membatasi kewenangan debitur, dan dilakukan
tahap berikutnya yaitu proses pembebanan
Hak Tanggungan melalui tahap pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan dan sebagai Bukti adanya
Hak Tanggungan diterbitkannya
Sertifikat Hak Tanggungan yang memiliki irah-irah "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", dimana sertifikat ini menjadi
landasan atau dasar pelaksanaan eksekusi apabila
debitur mengingkari untuk melunasi hutangnya di kemudian hari.
Nama :
Camela Azkia
NPM :
21211577
Tanggal :
5 Mei 2013
jurnal yang sangat bermanfaat. lihat juga informasi Kabar UMJ disini!
BalasHapus