I made this widget at MyFlashFetish.com.

Minggu, 05 Mei 2013

Review Jurnal 2 ( Postingan 5 )



Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan

Oleh :

Martha Noviaditya
Fakultas Hukum Sebelas Maret
Surakarta 2010

Hasil Penelitian Dan pembahasan
2. Bentuk Perlindungan Hukam Yang Diperoleh Pihak Kreditur Ketika Debitur Wnprestasi dalam Perjanjian Kredit Dengan Jminan Hak Tanggungan Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dijelaskan pengertian Kredit : "Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga". Dalam ketentuan pasal tersebut, yang dimaksud persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam adalah bentuk perjanjian kredit dimana adanya kesepakatan harus dibuat dalam bentuk tertulis.
Kesepakatan dalam Perjanjian Kredit Perbankan harus dibuat dalam bentuk tertulis. Ketentuan ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 8 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang mewajibkan kepada bank sebagai pemberi kredit untuk membuat perjajian secara tertulis. Keharusan perjanjian perbankan harus berbentuk tertulis telah ditetapkan dalam pokok- pokok ketentuan perbankan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Perbankan. Menurut Badriyah Harun, pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah :
1. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat
dalam bentuk perjanjian tertulis
2. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari
nasabah debitur
3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian
     kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai
prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah
5. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur
dan atau pihak-pihak terafiliasi
6. Penyelesaian sengketa

Dalam praktik perbankan, perjanjian kredit yang dibuat secara tertulis
dituangkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :

a. Perjanjian Kredit atau Akta di bawah tangan
Perjanjian kredit atau akta di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat hanya diantara para pihak tanpa di hadapan pejabat yang berwenang dalam  pembuatan akta  yaitu  notaris. Bahkan lazimnya, dalam penandatanganan akta perjanjian tersebut tanpa dihadiri saksi yang membubuhkan tanda tangannya. Akta di bawah tangan ini biasanya telah berbentuk draft yang lebih dahulu disiapkan sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada calon nasabah debitur untuk disepakati. Perjanjian yang telah dibakukan memuat segala macam persyaratan dan ketentuan, yang berbentuk formulir dan isinya tidak pernah dibicarakan atau dirundingkan dengan nasabah calon debitur terlebih dahulu.

b. Perjanjian Kredit atau Akta Autentik
Akta autentik adalah surat atau tulisan atau perjanjian pemberian
kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris. Definisi akta autentik terdapat dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : " Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya" (Subekti dan Tjitrosudibio, 2006:475).

Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur ketika debitur wanprestasi menurut Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 terdapat dalam bentuk perjanjian kredit itu sendiri yang tertuang dalam bentuk tertulis, yaitu baik berupa akta di bawah tangan maupun akta autentik. Menurut penulis, bahwa yang lebih menjamin hak kreditur dalam memperoleh kembali piutangnya ketika debitur wanprestasi adalah pada perjanjian kredit dengan akta autentik Akta autentik ini memiliki kelebihan yaitu dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki kekuatan eksekutorial dan menjadi dasar untuk pelaksanaan eksekusi apabila debitur cidera janji.

Akta autentik ini dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat yang  berwenang yaitu notaris melalui proses pengikatan perjanjian kredit dengan jaminan pemberian Hak Tanggungan terlebih dahulu, kemudian dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang memuat janji-janji guna menjamin hak kreditur dalam memperoleh pelunasan piutangnya dan membatasi kewenangan debitur, dan dilakukan tahap berikutnya yaitu proses pembebanan Hak Tanggungan melalui tahap pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan dan sebagai Bukti adanya Hak Tanggungan diterbitkannya Sertifikat Hak Tanggungan yang memiliki irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", dimana sertifikat ini menjadi landasan atau dasar pelaksanaan eksekusi apabila debitur mengingkari untuk melunasi hutangnya di kemudian hari.

Nama      : Camela Azkia
NPM        : 21211577
Tanggal : 5 Mei 2013






























1 komentar: